ADOPSILAH AKU
“Cinta tak tahu kemana ia harus hinggap.”

          Ayam jago berkokok ditemani dengan matahari yang mengupas subuh dingin itu. Embun – embun di dedaunan mulai terjaga, membangunkan satu dengan yang lainnya. Tangan pohon – pohon di jalan melambai ke arah tiang lampu jalan, mengucapkan selamat pagi. Pagi yang cerah. Hari yang baru.

         Yurok adalah semut di rumah. Bekerja tanpa lelah. Bahkan saat ia tahu bahwa dirinya sudah tak mampu melakukannya, ia tetap mendorong selangkah ke depan. Rasanya seperti membakar tanganmu sendiri saat kau tahu tak lama lagi ia akan meleleh. Tapi sepertinya Yurok tak masalah. Ia senang melakukannya.

          Sashira adalah lebah di rumah. Selalu berjalan ke sana ke mari melakukan sesuatu. Apa saja yang dapat dikerjakannya, pasti langsung diselesaikan tanpa menunda – nunda. Seperti ibu rumah tangga pada umumnya, rumahnya adalah kantornya. Ia masuk kerja setiap hari, tanpa terkecuali tanggal merah dan hari minggu. Tapi sepertinya Sashira tak masalah. Ia senang melakukannya.

          Dynamus adalah gula bagi Yurok dan madu bagi Sashira. Anak tunggal, harta karun satu – satunya. Ia tak dilahirkan oleh siapapun. Namun dibesarkan oleh beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai orang tua. Saat Dynamus beranjak dewasa, ia memberontak. Dirinya lelah dipenjara. Ia menapakkan kakinya keluar untuk hidup sendiri. Mencari jati diri. Ia menemukannya saat Yurok dan Sashira membimbingnya. Mengasuhnya, memberikan cinta dan kasih sayang sehingga Dynamus tahu dan belajar siapa dirinya. Ia sadar bahwa jati diri sesungguhnya bukan dicari. Tetapi dibentuk. Dibangun. Dijaga.

          Yurok adalah seorang yang ahli dalam berbicara. Ia tak belajar sendiri. Ia banyak belajar dari beberapa temannya. Kesadaran membawanya kepada satu titik di mana ia harus memiliki cara berbicara sendiri. Dengan demikian, ia tidak akan dipandang lagi hanya sebagai seseorang yang ahli dalam berbicara. Ia ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dirinya berbeda. Dan ia bangga akan hal itu. Selama ini, ia tak pernah berhenti membimbing Dynamus. Ia mengajarinya hal paling dasar dalam berbicara, yaitu dengan siapapun ia berbicara, ia harus tahu bahwa bahasa Yurok adalah bahasa yang paling dasar. Yurok mengatakan bahwa teman – teman Dynamus akan memiliki cara berbicara yang berbeda. Meskipun begitu, jangan terpengaruh. Tanamlah sedikit rasa bangga yang murni dalam bahasa. Maka dengan sendirinya ia akan tumbuh dan terus berbuah.

          Sashira adalah seseorang yang menghabiskan setiap hari dalam hidupnya untuk mengamati. Mengamati segala sesuatu yang dapat diamati. Ia adalah pengamat terbaik saat memerhatikan tingkah laku orang – orang. Sama seperti Yurok, ia tidak belajar sendirian. Teman – temannya secara tidak langsung memberikan kesempatan bagi Sashira untuk mempelajari mereka. Sebab setiap dari mereka memiliki tingkah laku yang berbeda, pola pikir yang berbeda dan kebiasaan – kebiasaan yang berbeda. Kumpulan hal tersebut disebutnya dengan budaya. Hal ini membuatnya berpikir untuk menentukan budayanya sendiri. Ia ingin dilihat sebagai seorang individu yang berbeda, yang memiliki budayanya sendiri. Bukan hanya sebagai orang yang ikut – ikutan budaya orang lain. Selama bertahun – tahun, ia melatih kebiasaan – kebiasaannya yang baru. Cara berjalan, cara makan, cara menyapa orang lain. Lalu, ia meneruskan seluruh ilmu dan pengetahuannya kepada Dynamus. Ia ingin melihat Dynamus dapat menangkap dan menerima segala sesuatu yang ia tahu. Ia mengatakan bahwa teman – teman Dynamus akan memiliki kebiasaan – kebiasaan yang berbeda. Meskipun begitu jangan terpengaruh. Pendamlah benih – benih sopan santun. Maka dengan sendirinya ia akan semakin tumbuh dan berakar semakin kuat.

          Dynamus pun bertumbuh semakin besar. Ia tumbuh sebagai seseorang yang sangat berpotensial. Talenta – talenta yang ia miliki adalah talenta yang sangat unik dan tidak dimiliki oleh teman – temannya. Tetapi sayang, ia tak dapat mengembangkannya secara maksimal. Tidak apa – apa. Masih ada hal lainnya yang dapat dibanggakan dari diri Dynamus. Hal yang tak dapat dimiliki oleh teman – temannya, yaitu ilmu yang telah diberikan oleh orang tuannya, Yurok dan Sashira. Dynamus tahu benar bahwa ilmu tersebut begitu berharga. Setiap harinya ia selalu menerapkan ajaran orang tua mereka. Dan benar, Dynamus berkembang sebagai orang yang sangat dihargai dan disukai oleh teman – temannya. Ia bangga akan kedua orang tuanya.

          Malam itu adalah malam yang tak akan dapat terlupakan. Sebuah makan malam mewah dan megah. Hanya orang – orang terkenal dan pentinglah yang diundang. Dynamus termasuk dalam daftar tersebut. Dengan kemeja corak khas, ia dengan percaya diri memasuki ruangan tersebut. Kebanggaan ia kenakan di atas kepalanya, mahkota jati diri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendapati dirinya dalam satu ruangan yang sangat unik. Matanya meraba ke segala arah. Begitu banyak orang yang berdiri sambil berbincang – bincang, saling bertukar senyum dan tawa. Belum pernah ia temui begitu banyak orang yang berbeda – beda. Ada yang memakai topi dengan warna – warna yang menarik. Ada yang menggunakan kemeja cerah dengan kancing yang sedikit menyamping. Ada yang menggunakan sarung. Ada pula yang tak menggunakan alas kaki. Lalu Dynamus memutuskan untuk menyapa mereka satu per satu. Jumlah mereka banyak. Begitu kompak memakai pakaian yang sama, bertingkah laku sama, dan cara berbicara yang sama. Dynamus asyik sekali berbicara dengan mereka sehingga ia sendiri lupa waktu.

          Setelah berjam – jam kemudian, jarum jam pun menunjukkan angka sebelas. Artinya pesta makan malam berakhir. Satu persatu tamu mulai pulang ke rumah masing – masing. Akhirnya Dynamus pun meninggalkan tempat itu. Ia pulang dengan kepala yang penuh. Apakah itu yang dipakainya? Mengapa ia harus berbicara seperti itu? Bagaimana aku dapat juga terlihat mewah seperti mereka? Malam itu bukan awan yang memenuhi langit. Bukan juga bintang. Tetapi pertanyaan. Pertanyaan yang terus mengalir dari kepalanya. Dynamus berpikir keras untuk mencari cara bagaimana dia juga bisa tampil menarik seperti yang lainnya.
           
          Pada keesokan harinya, Dynamus sudah menyusun rencana untuk mengubah dirinya. Ia rasa tak masalah untuk mengubah dirinya sebab yang ia lihat adalah baik baginya untuk juga tampil menarik di antara teman – temannya. Siang itu juga, ia menghubungi Karin untuk menawarkan kemeja bercorak aneh miliknya. Sudah lama Karin mengaku mengincar kemeja itu tetapi ia sadar bahwa kemeja itu sudah lama menjadi milik Dynamus. Akhirnya datang juga hari itu. Dynamus merasa bahwa kemeja tersebut tidak lebih baik dibandingan kemeja – kemeja yang dimiliki oleh teman – temannya yang lain. Tidak tanggung – tanggung, Karin membayar dengan jumlah yang besar, sebagai tanda penghargaannya terhadap keindahan kemeja itu. Kini, Dynamus memiliki lebih banyak uang untuk membeli beberapa barang yang serupa dengan milik teman – temannya. Pakaian, makanan, dan hal – hal lainnya yang sudah lama ingin ia miliki. Tak ingin membuang – buang waktu, langsung ia beli semuanya. Awalnya tak ada perbedaan. Namun setelah ia sudah benar – benar selesai belanja, tak tampak lagi Dynamus yang biasanya. Bukan hanya rambutnya. Bukan pakaiannya. Bukan tingkah lakunya. Tetapi semuanya. Tak pernah disangka bahwa hal – hal seperti itulah yang merenggut nyawa seseorang. Dia bernapas, bergerak, berbicara. Ia tampak hidup tetapi sesungguhnya mati. Hidupnya bukanlah ia yang mengendalikannya.

          Pada saat itu juga, ia mengunjungi rumah temannya. Satu per satu ia kunjungi. Seperti yang diduga olehnya, bahwa dengan menjadi lebih serupa teman – temannya, ia merasa dapat membaur lebih baik. Kehadirannya lebih dianggap. Dynamus mulai merasakan kenyamanan yang sudah lama ia rindukan saat melihat cara orang tua teman – temannya mengasuh dan mengajari mereka. Begitu unik. Begitu berbeda. Muncul seketika keinginan, suatu perasaan iri, cemburu yang tumbuh di dalam lubuk hatinya. Kemanakah saja dirinya selama ini? Hatinya berbisik. Bertahun – tahun telah ia habiskan di dalam keluarga yang ia kira adalah yang terbaik. Ia kecewa.

          Sejak hari itu, Dynamus memutuskan untuk tinggal bersama teman – temannya. Menginap semalam di satu rumah dan kemudian rumah lain di malam berikutnya. Ia sudah terlanjur tertarik dengan cara hidup orang lain. Ya, awalnya bermula dari melihat. Lalu timbul keinginan. Sekarang ia mendapatkannya. Kepuasaan tidak berpihak padanya. Tak pernah sedikitpun ia teringat oleh Yurok dan Sashifa. Mereka yang sudah mendidik, membimbing, memeliharanya dari kecil. Mereka yang duduk di depan rumah, menunggu kepulangan Dynamus. Sampai sekarang hari itu tak kunjung datang. Mungkin besok. Itulah yang selalu ada di pikiran mereka setiap hari.
ALKOHOL
“Kehidupan. Kematian. Kehidupan.”

          Sekilas aku mengarahkan pandanganku ke bawah. Kulepaskan hembusan tawa dari hidungku. Udara tawa yang tak berasal dari dalam paru – paru. Tetapi dari awan – awan khayalanku. Dari pikiranku. Dari perasaanku. Bukan dari hati. Hati tak memiliki perasaan. Mereka membohongimu. Otak memiliki perasaan sebab ia berpikir. Itu adalah fungsi otak. Berpikir dan merasakan. Mungkin saja hatiku yang bermasalah. Mungkin aku dilahirkan cacat. Sebab yang kutahu selama ini ia hanya berfungsi untuk membantu proses metabolisme, regulasi, dan detoksifikasi dalam tubuh. Ya, terbukti bahwa aku cacat.

          Aku berbeda. Semua orang berbeda. Tetapi mereka sama. Aku tetap berbeda. Mereka berbeda. Aku sama seperti mereka. Tetapi aku berbeda. Kita semua adalah sama. Tetapi kami berbeda dengan mereka. Aku berbeda dengan dia. Tetapi kami sama. Kita semua sama. Hanya aku yang dapat melihat dan memahami bahwa dia di dalam kita tak sama dengan aku. Aku di sana. Aku di sini. Tampak sama dan berbeda. Tetapi semuanya sama. Kau tak sadar akan dia di dalammu. Aku lainnya yang mendominasi aku yang di luar. Kau merasa aku mu adalah satu. Namun, aku melihatnya. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Aku merasakaannya. Ia tak lebih kecil darimu. Kau tak melihat aku di dalammu. Sebab kau pikir ia adalah kau sendiri. Sekarang pikirkan ini. Siapakah dirimu? Tak ada yang mengenal aku di dalammu. Ia adalah pendatang yang menyusup dan menghuni. Aku yakin tak ada yang membedakan dirimu dengan mereka jika aku di dalammu berasal dari tempat yang sama dengan aku di dalam mereka. Aku tak mengenal mereka. Aku pun tak mengenal aku. Aku tak tahu harus bertanya kepada siapa. Mungkin memang harus seperti ini. Mungkin mereka sengaja tak mengenalkan diri mereka sendiri kepada aku. Kepada kita.

          Kita adalah pemabuk – pemabuk terhebat yang pernah ada. Pertama kali mengintip cahaya saat menyelipkan kepala kita keluar dari vagina sang ibu, kita adalah pemabuk. Kita terlahir seperti itu. Merengek tanpa alasan, lalu terlelap seharian, lalu melakukan hal – hal yang tidak penting. Menangis. Minum susu. Diam. Lalu menangis lagi. Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan bahwa kita terlahir terkutuk. Salahkan Adam dan Hawa. Omong kosong. Mereka tak bersalah. Mereka pun terlahir mabuk. Tak ada bedanya. Bodohnya kita menganggap beberapa orang lebih penting daripada yang lainnya hanya karena mereka memiliki ceritanya sendiri. Tak perlu heran. Tak perlu dipikirkan lagi. Memang sudah seharusnya begitu. Memang hal itulah yang seharusnya dilakukan orang – orang saat mabuk. Kita melakukan hal – hal yang kita anggap biasa dilakukan. Kita bereaksi terhadap kejadian – kejadian dengan cara yang kita anggap biasa dilakukan. Anehnya, tidak ada yang menyadari bahwa kita semua sedang dalam kondisi mabuk, tak sadar, berhalusinasi. Tak percaya? Pergilah ke kantor, amatilah setiap orang. Pergilah ke pasar, amatilah setiap orang. Mereka melakukan hal yang sama setiap harinya. Bekerja, kata mereka. Alasan yang sama terus mereka katakan setiap hari. Siapa yang rela menghabiskan sisa hidupnya untuk melakukan sebuah kegiatan yang sama terus – menerus? Pemabuk. Seolah – olah mereka adalah Tuhan yang mengetahui bilamana esok masih akan datang atau tidak. Lucu. Tuhan pun sebenarnya tak tahu. Ya memang benar. Begitu mabuknya kita, sehingga kita merasa bahwa diri kita lebih tinggi daripadaNya. Menyedihkan? Tentu tidak. Kita menganggapnya biasanya. Tak ada yang aneh. Tak da yang spesial. Mengapa? Karena semua orang mabuk. Semua orang tak sadarkan diri. Hidup mereka adalah mati. Mati yang sedang berdiri di ujung lorong, menuliskan urutan nama – nama yang akan ia panggil satu per satu.

          Lalu muncullah obat. Obat yang muncul saat dirinya bahkan tak merasa diundang. Ia tak tahu perannya. Ia tak tahu tugasnya. Yang ia tahu adalah bahwa ia dibutuhkan. Dibutuhkan untuk memberikan waktu rehat kepada orang – orang mabuk supaya mereka bisa kembali mabuk lebih hebat lagi. Ia hanya dibutuhkan saat orang tak bisa mabuk seperti biasanya. Tetapi sesaat setelah ia tak ada, mereka kembali mendaki langkah demi langkah sampai klimaks. Dirinya memberikan hidup. Ia membangunkan orang – orang dari kondisi kabur dan tak jelas. Ia adalah satu – satunya obat yang dapat membawa orang kepada kondisi hidup yang sebenarnya. Sayang. Orang terlalu terbiasa dengan kondisi mabuk sehingga menganggap sembuh ialah mabuk. Semuanya terbalik. Apa yang seharusnya tidak terjadi, terjadi. Apa yang seharusnya terjadi, dilupakan. Dipandang sebelah mata. Dianggap aneh. Dianggap salah. Salah dan benar. Benar dan salah. Mereka adalah omong kosong terbesar di dunia ini. Mereka ada karena kita menciptakannya. Ya, pemabuk – pemabuk seperti kitalah yang menciptakannya. Ini benar karena itu salah. Ini salah karena itu benar. Cara kita menilai dan menghakimi sesuatu supaya semua orang melakukan hal yang menurut kita adalah benar. Di sinilah kita tinggal. Di tempat yang begitu indah dan mulia, namun dihuni oleh pemabuk – pemabuk dan peraturan yang mereka ciptakan. Kemudian apakah arti hari ini? Apakah arti masa depan kita? Apakah arti hidup? Jika kita hanya terlahir dan mati sebagai seseorang yang mabuk.  Kau tak sadar. Karena kau mabuk. Wajar. Orang yang mabuk tak akan menyadari bahwa ia sedang mabuk. Kita merasa bahwa hidup kita baik – baik saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah pernah mencicipi obat tersebut? Mata mereka terbuka. Pikiran mereka melek. Mereka mulai melakukan hal – hal yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia normal. Mereka mulai mengatakan hal – hal yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia normal. Tetapi apa, justru kita membantahnya dengan sebutan yang bermacam – macam. Berhalusinasi. Sedang high. Tak sadarkan diri. Tak waras. Gila. Kecanduan. Orang – orang yang tak benar. Orang – orang jahat. Stress. PEMABUK. Menggelitik bukan? Bahwa seorang pemabuk yang menganggap dirinya baik – baik saja justru mengatakan bahwa orang lainlah yang sedang mabuk. Hanya karena mereka mengatakan hal – hal yang tak biasa. Melakukan hal – hal yang tak biasa. Tak pernah capek, tak pernah kesakitan, terkadang menangis, kemudian langsung tertawa, berbicara dengan dirinya sendiri, lalu tertidur sampai keesokan harinya. Hanya karena hal – hal tersebut, ia dikatakan mabuk. Bagaimana jika memang itu adalah melek? Bagaimana jika halusinasi adalah nyata? Bagaimana jika manusia sewajarnya melakukan hal – hal tersebut? Dikatakan pemabuk atas dasar peraturan dan pengamatan yang diciptakan sendiri oleh kita, para pemabuk – pemabuk yang di mana akal sehat tak hinggap di dalam kepala lagi. Sampai kapan kita mau tetap seperti ini? Tidak inginkah kita melek? Hidup sebagai manusia sepenuhnya. Yang kita perlukan hanyalah setetes obat. Setetes alkohol. Lalu setetes lagi. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol.

          Setes alkohol lagi sebelum kau mati. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol.

          Setetes alkohol lagi jika kau ingin hidup. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol.

          Setetes alkohol lagi yang kau perlukan. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol. Setetes alkohol.
DUA PULUH ENAM
“Dua puluh enam hari kita tidak bisu”
          Dan kini jika kita akhirnya sudah sampai di ujung jalan, lantas tidakkah kau ada perasaan menyesal sedikitpun? Apakah salahku telah membiarkan hal ini terjadi? Ataukah keadaan yang memilih untuk menentukan nasibnya sendiri? Takdir oh takdir…. Cepat atau lambat aku tahu hari ini akan datang. Memang aku pernah mengatakan bahwa aku mencintaimu. Tetapi mengapa kesempatan memilih untuk menuntunku ke ujung yang buntu? Apakah itu kesalahanku juga? Ya? Benar begitu? Kalau begitu aku meminta maaf! Kalau itu memang perlu, ya aku akan tersungkur dihadapanmu dan memohon maaf.. Apakah air mataku ini sudah tak berarti apa – apa lagi bagimu? Apakah masih mungkin waktu kuputar? Apakah kau di sana ada rindu padaku? Aku tak pernah ingin meninggalkanmu. Kenangan – kenangan kita masih kusimpan, kujaga. Lalu bagaimana kau di sana? Terkadang hatiku menolak untuk sabar dan mengerti. Terkadang aku ingin meninggalkan semuanya hanya untuk dapat merasakan pelukanmu lagi…. Tangis air mataku ini kusimpan hanya untukmu kekasih.. Di sini ku merasa dekat, namun begitu jauh.. Tolong……. Tolong beri pertanda bahwa kau masih merindukanku.. Bahwa kau masih memikirkanku… Tolong kekasih… Berapa lama lagi aku harus menangis dibawah pohon ini, memeluk batu nisanmu…

          Semuanya sudah tak berarti. Aku tak peduli lagi. Aku tak peduli apabila malam tak menggantikan terang. Tak peduli apabila bintang – bintang tak menemani rembulan lagi. Mungkin memang harus begitu. Mungkin bulan harus belajar bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Paling tidak itulah yang sering dikatakan oleh orang – orang. Jika itu benar, maka aku tak akan berpikir dua kali untuk menjajal hidup di dunia yang lainnya. Di mana air hujan turun setiap hari, menemani rerumputan yang sudah lama menunggu. Di mana angin selalu memeluk erat daun – daun yang menggantungkan diri di ranting pohon, menunggu kehadiran ombak – ombak udara. Di mana salju akan terjun ke danau dan hidup di dalamnya. Sehingga dirinya merasuk ke dalam jiwa danau dan tak ada lagi perbedaan di antara mereka. Di mana awan selalu ada bagi langit. Apakah makna kebersamaan jika keterpisahan sudah menunggu di ujung jalan? Bodohnya aku yang tak pernah tahu berapa jauh jalanku. Sesungguhnya selama ini aku buta. Ya memang mataku terbuka lebar. Tetapi mengapa gulita kegelapan yang selalu aku pandang di mana – mana. Kau tak pernah jauh dariku. Aku pun tak pernah jauh darimu. Lalu perasaan apakah ini yang selalu menciptakan jarak yang teramat jauh diantara cinta. Mengapa rindu selalu mengetuk pintuku di siang hari dan menginap di kamarku di malam hari. Ia enggan meninggalkan kita berdua sendirian. Semenjak hari itu ia datang, ia mulai mengajak temannya, penyesalan. Entah apa yang sedang ia lakukan di sini, tapi ku melihatnya menggerogotiku. Perlahan menjilat kulitku, lalu dengan sekedip mata, ia sudah menggigit tulang – tulangku. Aku mati tetapi aku harus hidup. Lebih berat menjadi seorang manusia daripada mesin pembunuh di medan perang. Pendarahan, ledakan di mana – mana, pendarahan, tekanan, pendarahan, peluru menancap dan menembus dagingku, pendarahan, mereka semua tak dapat menjatuhkanku. Aku tak goyah sedikitpun dihadapan mereka. Tapi ini, ini menghisap nyawaku. Aku tak tahu bagian mana yang harus aku perban. Bagian mana yang harus aku obati. Bagaimana memulihkannya dalam semalam untuk perang di hari berikutnya. Aku bahkan tak tahu sebelumnya kalau rasa seperti ini ada di dunia. Taka da udara tetapi aku harus tetap bernapas.

          Malam itu adalah awal dari penyesalanku. Penyesalan yang akan terus terbelenggu di kedua kakiku, kemana pun aku pergi. Tetapi apa yang harus aku katakan kepada mereka? Menolak untuk mengabdi kepada Negara? Aku dilatih untuk ini. Aku dihajar, dipukul, dilatih keras untuk memberikan nyawaku kepada tanah air. Darah dan dagingku miliknya. Namun hatiku tetap milikmu. Itu adalah hal yang ingin aku katakan kepadamu. Tak berharap untuk kau pahami dan mengerti. Karena memang kita berdua tak pernah merencanakan ini sebelumnya. Aku tak dapat menolak. Aku tak dapat berkata tidak. Aku tak bermaksud untuk mementingkan satu hal dan acuh kepada yang lainnya. Sebagian dariku memilih untuk pergi. Tetapi sekarang aku tak tahu lagi jika kata maaf cukup untuk semuanya.

          Awalnya memang tak masalah. Aku menuliskan surat lalu ku kirimkan kepadamu. Kau membalas. Kau memiliki kesabaran seorang malaikat. Bukan dari kata – kata yang kau ucapkan. Tetapi dari tulisanmu. Aku tahu adalah seorang yang tegar yang memegang pena itu dan ia mengumpulkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk menggoreskan kata – kata yang mampu membuatku tak dapat terlelap di malam hari, menghabiskan waktu memandangi tulisan yang begitu indah. Tinta hitam di atas sebuah kertas terbaik yang dapat kau beli, tinta hitam yang berbicara. Suaramu begitu jelas dikepalaku saat kata per kata mulai ku baca. Minggu demi minggu kita lalui dengan tanpa masalah sedikitpun. Satu – satunya masalah adalah saat aku lupa di mana aku meletakkan sarung tangan dan helm sesaat sebelum patroli karena biasanya kau yang menyiapkan segala sesuatunya untukku. Begitu pun kau, saat listrik di rumah mati dan kau tak tahu harus berbuat apa karena biasanya aku yang memperbaiki segala sesuatunya untukmu.

          Hari itu pun datang. Hari di mana aku dipindahkan ke pos pusat komando. Kerja kerasku di medan perang dilirik oleh komandan dan ia memutuskan bahwa tugasku di lapangan sudah cukup. Aku dipindahkan. Di sana aku mendapatkan fasilitas yang jauh lebih memadai. Aku nyaman. Saat itu juga, aku tahu tampak seperti seorang bocah kecil yang sangat bersemangat dan senang setelah melihat sebuah telepon. Dua hari sekali aku meneleponmu. Satu di pagi hari dan satunya sebelum tidur. Suaramu mengisi tenagaku kembali untuk bekerja seharian. Menghibur dan menenangkan untuk menghantarkanku ke dalam dunia mimpi yang indah. Aku senang. Aku sangat senang. Aku menyukai saat kau tertawa dan mulai berbicara dengan tidak jelas karena kau melakukannya secara bersamaan. Momen – momen seperti itulah yang membuatku merasa bahwa kau ada di dekatku. Pagi itu aku bergegas menuju telepon seperti biasa. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Berkali – kali aku coba untuk meneleponmu tetapi kau tak ada. Mungkin makan. Mandi. Pergi. Terlelap. Memasak. Tetapi sama halnya yang terjadi malam itu. Kau menghilang begitu saja. Saat itu rasanya seperti ada sebuah balon yang pecah di dalam kepalaku. Seluruh perasaan bercampur aduk. Mengapa kau menghilang? Apakah kau baik – baik saja? Hari demi hari aku lewati. Tak ada perkembangan. Tak ada perubahan. Tepatnya pada hari ke lima belas, semuanya berubah.

          Surat itu tiba. Sudah lama aku tak menerima surat. Amplop yang sangat rapih dan putih. Lalu kubuka perlahan. Kertas yang putih itu mulai bergetar. Tinta tinta hitam mulai luntur karena tetesan air mataku. Kertas yang begitu kosong. Dengan tulisan yang kecil di ujungnya. “Jangan hubungi aku lagi”. Mukaku memutih. Aku tak tahu harus bagaimana. Orang yang selama ini aku rindukan, pikirkan setiap saat, orang yang sangat aku cintai menghilang secara tiba – tiba lalu surat ini datang? Pada saat itu juga aku berpikir aku akan gila. Jantungku berhenti berdetak beberapa detik. Otakku tak sanggup menyambungkan akal – akalnya. Aku tak siap sama – sekali. Aku terpukul. Aku mencoba untuk menghubungimu berkali – kali. Aku tak peduli jika aku harus terdengar seperti seorang anak – anak yang cengeng dan merengek kepadamu untuk mengetahui kabarmu. Aku tak dapat mengendalikan air mataku. Mereka tak henti – hentinya mengucur deras ke tombol angka – angka di telepon. Aku merindukanmu. Aku merindukan tawamu yang biasanya aku dengarkan setiap pagi.

          Semenjak itu Trevor tak pernah berhenti menghubungi Ashaka. Setiap pagi dan malam, telepon rumah selalu berdering. Akasha hanya duduk di kursi ruang tamu, menangis. Menangis karena ia tak ingin Trevor untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Dua minggu sebelumnya, ia mengalami sebuah kecelakaan dalam perjalanannya pulang dari apotek dekat rumahnya. Kecelakaan itu begitu parah sehingga Akasha mengalami gegar otak yang kemudian berujung kepada pendarahan otak. Selain itu, pita suaranya harus diputus akibat hentakan kepalanya yang begitu keras. Bagaimana ia mungkin mengangkat telepon dari Trevor meskipun ia sangat sangat sangat merindukan suaranya. Ia tak ingin menghancurkan hati Trevor. Maka dituliskannyalah surat itu. Ia merasa Trevor pantas dan layak untuk mendapatkan sesorang yang lebih baik daripadanya. Seseorang yang sehat. Seseorang yang bisa membuatnya tertawa lagi. Seseorang yang pasti bisa merawatnya setiap hari di sepanjang sisa hidup bersama. Ia menginginkan yang terbaik bagi Trevor, walaupun ia harus menahan rasa perih yang ditancapkan pisau di jantungnya.

          Setiap pagi adalah pagi yang berat bagi Ashaka. Namun dirinya sudah menjadi jauh lebih tenang karena sunyi ada di rumah itu. Tak ada surat. Tak ada telepon yang berdering. Semuanya sunyi senyap. Ia mulai mempelajari bahasa tubuh. Keterbatasan fisiknya tak melemahkannya sedikitpun. Ia adalah laki – laki bagi dirinya sendiri. Memang sesekali ia teringat akan Trevor saat ia melihat hal – hal sederhana yang mengantongi sejuta memori dan kenangan bersama. Masakan favorit, baju yang biasa dikenakannya, hal – hal lucu yang akan ia katakan setiap kali iklan di televisi muncul. Hatinya menjerit. Tetapi ia tersenyum. Wanita yang tangguh. Berbulan – bulan ia habiskan waktunya sendiri. Menghibur diri sendiri. Menyemangati diri sendiri. Menjaga diri sendiri. Menghidupi dirinya sendiri.

          Pada suatu pagi, Ashaka kembali dari pasar untuk berbelanja. Hari itu ia berencana untuk memasak banyak. Terlihat dari barang bawaan yang ia bawa pada saat itu. Seperti gurita yang membawa belasan tas besar dan kecil di saat bersamaan. Ia membuka pintu dan meletakkan seluruh bawaannya di atas meja dapur. Ia menyalakan lampu dan tampak sebuah amplop di lantai tepat di sebelah pintu rumah. Jarinya mengambil amplop tersebut dan langsung membukanya. Sebuah undangan pernikahan dengan nama yang tertera di bagian paling atas. Tertuliskan nama Trevor. Detik itu juga ia hampa. Selama ini, hari demi hari yang ia lalui, ia merasa lebih baik setiap harinya. Ia menemukan kekuatan seiring dengan berjalannya waktu. Dan ia pulih. Namun hal itu memukulnya begitu keras, air mata menggenang di kedua bola matanya. Ia mencoba untuk tersenyum tetapi tangis tak sanggup untuk ditahannya. Ia sedih. Ia hancur. Ia merasa dirinya bukan siapa – siapa lagi. Ia ingin dicintai oleh orang yang dulu sangat ia cintai. Tak masalah jika harus mengharapkan sebuah imajinasi dan harapan yang tak kunjung datang. Tetapi pagi itu, ia pecah. Ia berlari ke arah kamar tidur. Lalu hal berikutnya yang akan terjadi mengubah segalanya. Ia mendapati Trevor berdiri di pojok ruangan, dengan sepatu hitam, celana panjang dan setelan jas dan dasi yang rapi. Lalu ia mendekat dan berkata dalam bahasa tubuh.

          Aku tahu. Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu apa yang terjadi sebenarnya. Maafkan jika aku harus menghilang juga. Selama aku tidak menghubungimu, aku menghabiskan hari – hariku untuk mempelajari bahasa tubuh. Aku memikirkanmu setiap saat. Aku tak sabar untuk melihat senyumanmu setiap pagi dan pelukanmu setiap malam. Aku belajar dengan giat untuk dapat menguasainya dengan secepat mungkin. Selain itu juga aku mengumpulkan beberapa sisa uang yang aku punya untuk kita dapat berdiri di altar dan pulang sebagai suami istri. Memang tak banyak, tetapi inilah semuanya yang aku punya. Aku takkan meninggalkanmu. Aku mencintai keberadaanmu, bukan hanya wujudmu saja. Aku mencintai kelemahanmu, bukan hanya kelebihanmu saja.

          Trevor mengambil amplop undangan tersebut dan membukanya. Tertulis nama Ashaka dibawahnya. Lalu ia berlutut dan memberikan sebuah cincin. Sebuah janji suci seorang lelaki kepada seorang wanita yang akan selalu ia milikki dan cintai selamanya.

          Dengar. Dengarkan ini. Tanganku bergerak. Jariku bergerak. Lihat! Kita tidak bisu.

          Keindahan. Kebahagiaan. Cinta. Rasa memiliki dan dimiliki. Perhatian. Kasih sayang. Kedamaian. Kehangatan. Ketentraman. Semua berlangsung selama dua puluh enam hari saja. Dua puluh enam hari tercepat dalam hidup mereka. Ajal tak berpihak dengan mereka. Nama Ashaka terukir di batu nisan. Dibawahnya tertulis sebuah tulisan.

Dua puluh enam hari kita tidak bisu
Zulletska
SATU
“Keterikatan. Dia. Aku.”
          Rumput – rumput menari mengikuti iringan angin. Saling menyentuh, memeluk satu dengan yang lainnya, seakan sudah lama terpisahkan. Keindahan tersebut tertangkap, terekam oleh mata kiri Zulfikri, yang sederajat dengan tanah. Satu.. dua…….. tiga. Kedua telapak tangan Zulfikri menggenggam tanah yang berlumpur itu dan menolakkan bumi menjauhi badannya dengan sekuat tenaga. Tak kuat bangun, kedua lututnya terpaksa terendam dalam genangan lumpur. Tak tahu berapa lama lagi ia masih kuat menopang badannya. Kedua lututnya semakin kuat mencengkram tanah, sekuat akar – akar pohon beringin merangkul kulit bumi hingga ke perut dan terus menjangkar ke dalamnya. Sosok superman dalam dirinya menciut. Dari seukuran matahari hingga sebutir kelereng.

“Bangsat! Sekali lagi lo berani macem – macem sama gue, habis lo! Inget kata – kata gue!”

          Badannya rebah untuk kedua kalinya. Menghantam tanah dengan keras. Matahari beristirahat tepat di atasnya, namun hari sudah malam di benak Zulfikri. Kini kedua bola matanya sudah tertutup rapat. Sepatu sneakers yang diayunkan oleh kaki seorang kapten sepak bola pun berubah menjadi sebuah martil yang menghujam kelopak matanya, menembus ke retina dan pupil sehingga cucuran darah tak bisa ditahannya. Bibir Zulfikri tampak seperti pastel dengan topping selai stroberi dan taburan serbuk susu coklat. Kecupan sepatu Prabu masih segar dirasakannya, meninggalkan darah dan pasir. Air liur dan darah bercampur aduk, mulai mengalir dari bibir hingga ke dagu Zulfikri. Aliran yang membentuk satu garis lurus, mengucur semakin deras tiap hembusan napasnya. Belum pernah ada cairan sekental darah mengalir sederas itu sebelumnya.

………………

          Mata Zulfikri terbuka. Lalu terpejam kembali. Bolam lampu menyapanya terlalu keras. Jemarinya mulai menghendus ranjang yang keras itu. Berharap bahwa ia akan terbangun di rumah sakit, dengan kalimat pertanyaan klise ‘Hah.. di mana aku?’ .. Kamarnya bahkan tak nampak layaknya seperti sebuah kamar. Gudang? Bukan. Mungkin kandang adalah istilah yang lebih tepat. Gas halogen berkacalah yang selalu setia menemani Zulfikri dalam kegelapan. Ranjang yang terbuat dari tumpukan kardus bekas melindungi punggungnya dari tanah lembab setiap malam. Tak masalah baginya untuk berbagi kamar berdua dengan temannya, Alletska. Mereka selalu bersama – sama kemanapun mereka pergi. Tak terpisahkan sama seperti telapak kaki melekat dengan bayangan hitam di bawah siraman pangeran siang. Tak ada yang mengerti mengapa. Tak ada yang paham bagaimana. Cerita dongeng nampak dangkal jika dibandingkan dengan mereka. Realita bungkam menyaksikan imajinasi mampu menyulap, menghipnotis perasaan dan akal sehat. Ya, mungkin mereka benar. Bahwa kita tak memerlukan mata untuk melihat. Paling tidak, itu yang diyakini oleh Zulfikri. Dia tumbuh besar di duniannya sendiri. Melihat apa yang tak dapat diraba. Berbicara dengan yang tak nampak. Mendengarkan uap – uap fantasi yang meniupkan cerita melalui daun telinganya lalu mengalir masuk ke lorong – lorong imajinasi. Zulfikri dan Alletska. “Zulletska”. Itulah yang terukir di dada kiri mereka. Tak ada yang tahu pasti tattoo macam apa itu. Tapi jelas bukan jarum tintalah pelakunya. Silet? Mungkin.
DUA
“Aku melakukannya.”
          Zulfikri berbeda. Banyak orang beranggapan bahwa Zulfikri sudah gila. Akal sehat tak lagi ada hinggap di dalam otaknya. Kerap kali ia berjalan kesana kemari. Mulutnya menggumam. Berbicara, bercanda, seakan – akan selalu ada topik baru yang sedang ia bincangkan. Duduk sendiri saat yang lain berlarian, bermain bersama. Pandangannya melekat pada sebuah kertas kosong. Pena biru sudah di tangan kirinya. Detikan jam dinding bagaikan ketukan yang mengatur tempo garisan – garisan tinta yang mencakar permukaan kertas. Lalu adakah sesuatu yang aneh? Semuanya normal. Hanya saja tintanya tak menemani bola pulpen sampai ujung halaman. Tulisannya tak mampu dibaca oleh siapapun. Ada yang mengatakan bahwa Zulfikri sedang melukis. Ada yang bilang itu adalah buku harian pribadi yang ia tulis setiap hari. Sedangkan yang lainnya tak peduli. Tulisannya memang tak dapat dibaca. Tetapi ujung pena meninggalkan goresan – goresan yang mengarungi sekantong misteri. Bukan terlihat seperti karangan. Bukan terlihat seperti sebuah cerita. Lebih mirip seperti kalimat – kalimat instruksi yang begitu rinci. Semua itu ia tuliskan langsung, dari awal hingga akhir tanpa jeda. Ada yang aneh dengan caranya menulis. Seakan – akan tulisannya bukanlah tetesan ide yang mengalir dari pikirannya sendiri. Matanya terarah kepada kertas. Tangannya tak henti menulis. Telinganya mendengarkan dengan teliti. Menangkap kata demi kata yang berbaris di daun telinganya. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu sama. Alletska yang menyuruhnya untuk mencatat seluruh perkataannya.
 Sudah sinting. Kali ini imajinasinya sudah kelewatan. Pada hari itu, sekolah diliburkan. Seluruh guru dan karyawan sekolahnya berkumpul di ruang rapat. Untuk pertama kalinya ruangan itu menampung 23 orang pada waktu yang sama. Pak Krimson meletakkan kacamatanya di meja. Orang yang duduk di bangku paling ujung pun dapat mendengarkan dengan jelas suara bingkai kacamatanya menyentuh meja kayu yang sudah tua itu.

          “Ini gawat. Kalau sudah berurusan dengan polisi, artinya urusan ini bukan main – main.” Kata – kata itulah yang mengawali rapat pada pagi itu. Pak Krimson nampak pucat. Dia sangat berusaha untuk terlihat tenang. Tapi itu sia – sia. Sama saja seperti menyembunyikan gedung pencakar langit dibalik sehelai kertas. Bukan hanya dia saja, tetapi semua orang di ruangan itu. Mereka menoleh dan melihat satu dengan yang lain dengan tatapan yang sama. Ke empat sisi tembok itu seakan ingin meledak, tak kuat akibat terus menerus dipompa dengan kegelisahan yang ada. Di satu sisi, mereka ingin menyelamatkan Zulfikri. Tetapi disisi lain, pelanggaran ini sudah tidak dapat di toleransi. Bagaimana mungkin sebuah lembaga menyelamatkan seseorang yang sudah melakukan pembunuhan terhadap orang lain? Tak ada tanda – tanda yang aneh. Tak ada motif yang jelas. Tak ada yang mengerti mengapa dari seorang Zulfikri muncul sebuah niat untuk membunuh gurunya sendiri. Tak ada dendam. Tak ada konflik. Dalam sekedip mata, semuanya terjadi begitu saja. 4 jam interogasi tak berbuah banyak. Hanya 1 jawab yang keluar dari mulut Zulfikri.

“Ini untuk Alletska…”
TIGA
“Kenyamanan. Perhatian. Kesetiaan.”
          Dilahirkan kembali. Entah bagaimana mungkin sebuah tembok dapat memisahkan dua dunia yang berbeda. Dua udara yang berbeda. Dua atmosfir yang berbeda.

          “Jangan khawatir.. Kamu aman sekarang..” bisik Alletska, sambil memeluk Zulfikri dengan penuh rasa kasih sayang. Udara luar berhembus ke pipi Zulfikri, merangsang otot yang menarik sebuah senyuman yang telah lama tiada. Sempat terpikirkan olehnya bahwa senyumnya sudah tidur dan tak akan bangun lagi. Alletska membuktikan kepadanya bahwa dia salah. 60 bulan di belakang jeruji besi membuatnya semakin intim dengan keluarganya. Bukan ayah. Bukan ibu. Tapi Alletska. Baginya dunia luar sama sekali tak berbeda dengan ruangan 3x3 di mana dia menjamur di sana. Baginya Alletska adalah segalanya. Di pagi hari, Alletska membangunkannya dan selalu meluangkan waktu bersama untuk saling berbincang. Bercerita. Bertukar pikiran. Curhat. Matahari terbit dan tenggelam. Namun perasaan mereka tak pernah surut. Tak ada yang dapat menggambarkan kasih sayang mereka satu sama lain. Mungkin mereka perlu membuat kata baru di kamus. Karena kata ‘cinta’ tidaklah cukup. Alletska adalah sosok yang setia. Hanya setia kepada Zulfikri seorang diri. Dan Zulfikri paham benar akan hal itu. Mereka bagaikan permen karet bekas yang sudah melekat dan menyatu dengan rambut. Tak dapat terpisahkan. Jika rambut itu harus dipotong, maka mereka akan dibuang bersama. Sehidup semati. Tak rela bagi lapisan atmosfir untuk melepaskan bumi. Baginya ia segalanya. Tanpanya ia bukan apa – apa. Begitulah Alletska. Begitulah Zulfikri. Begitulah Zulletska.
EMPAT
“Cinta berkenalan dengan keabadian.”
          Zulfikri adalah seseorang yang tekun. Seseorang yang menaruh jiwa dan raganya untuk sesuatu yang dia sukai. Seseorang yang menggenggam totalitas di tangan kirinya dan integritas di tangan kanannya. Karakter tersebut menghantarkannya ke dalam dunia karier yang baru. Menghabiskan waktu dari jam 8 pagi sampai 4 sore di kantor tak terasa seperti bekerja baginya. Lebih seperti bermain dan dibayar. Kursi empuk dengan balutan kulit berwarna coklat tua menjadi tumpuan untuk dia menuangkan seluruh kekreatitifitasannya. Ruangan yang relatif besar membuatnya merasa kecil. Kemana – mana ia selalu memakai jaket yang dijahit sendiri oleh Allletska. Udara AC yang dingin seakan tak mampu menembus serat – serat benang jaket tersebut.Semuanya kelihatan sempurna baginya. Itulah yang nampak. Itulah yang dilihat oleh semua orang. Itulah yang tertanam di pikiran mereka. Tetapi sesungguhnya tak begitu. Memang benar Zulfikri berhasil mendapatkan posisi tersebut. Namun itu pun bukan lain adalah hasil dari usaha Alletska. Bukankah aneh melihat Zulfikri berhasil mendapatkan itu semua dengan mudah dan instan? Oh.. dan mengingat bahwa ia memiliki riwayat buruk yang membuangnya ke dalam lubang jera yang mereka sebut dengan sel penjara. Apakah tidak ada yang menyadari itu sebelumnya? Sesungguhnya itu seperti menggenggam sekantong cahaya rembulan di siang hari. Klise. Mereka berbahasa cinta. Tampak asing bagi yang tak memahaminya. Tampak nyata bagi yang merasakannya. Yang ada sesungguhnya tak ada. Ataukah sebaliknya? Namun dibalik itu semua ada sebuah misteri yang masih belum terungkap. Buku masih tertutup rapat – rapat. Tetapi ceritanya sudah merangkak ke dalam celah – celah gendang telinga.  Ingin membuka tingkap hitam yang menutupi kebenaran. Entah mengapa kabutnya semakin tebal. Seakan tangan semesta terbelenggu, lemas, tak berdaya, tak mampu menunjukkan keperkasaannya. Nihil.

          Lalu datanglah hari Kamis. Semuanya nampak dan terasa seperti biasa. Zulfikri duduk di kursi dengan kedua tangan bersembunyi di dalam sakunya. Kerutan di dahinya mengombak saat kedua alisnya tertarik ke atas. Dia menghembuskan nafas yang panjang, lalu berdiri. Badannya naik, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang ketinggalan di bawah sana. Rasa percaya diri. Air liur mengalir turun ke dalam tenggorokannya. Sempat melintas dipikirannya untuk membatalkan semuanya. Lalu Alletska memeluknya belakang.

          “Jangan khawatir..Kamu pasti bisa..” bisik Alletska. Detak jantung mereka seiring seirama. Zulfikri bisa merasakannya. Kaki kanannya melangkah. Sepatu kickers hitam mendarat, menepakkan alasnya pada karpet yang lembut. Di ujung ruangan sedang berdiri seorang wanita. Berdiri di atas tumpuan high heels hitam beralas merah. Rok mini hitam yang merangkul hanya sedikit dari pahanya. Kakinya bagaikan kapas – kapas pilar awan, kail yang mencengkram lirikan mata lelaki manapun. Kemudian kemeja putih ketat yang selalu ia kenakan setiap hari. Kancing atasnya terbuka seperti biasa. Tulang selangka yang beristirahat sejajar dengan bahunya, mengintip sesekali angin berhembus. Rambutnya yang panjang tergulung rapi dengan ……, memberi ruang untuk lehernya terlihat melalui renda – renda rambut. Teruntai kalung perak di lehernya yang indah, menyempurnakan keelokannya. Zulfikri sendiri sejujurnya tak percaya diri. Namun keberaniannya segera merebak dan menyuntikkan nyali ke dalam jiwanya. Mereka mulai saling menyapa. Lalu bercakap – cakap. Wanita itu tertawa. Kemudian suasana berubah menjadi sangat hangat. Siapa sangka, keluguan Zulfikri menjadi magnet bagi Clement.

          Kisah mereka bermula dari secangkir kopi di sebuah café dekat tempat mereka bekerja, sampai ke cincin emas dua puluh tiga karat yang menyelimuti kedua jari manis mereka di pelaminan. Tak ada yang menyangka bahwa hari itu akan datang. Langit masih bertanya – tanya benarkah apa yang dilihatnya. Tiga orang di sebuah panggung kecil. Lalu beberapa orang lainnya duduk di kursi putih yang dihias dengan sangat cantik. Suara ombak yang menyapu karang – karang di pinggir pantai menyuguhkan iringan yang menenangkan hati. Semuanya begitu khusyuk. Semuanya begitu bahagia. Semuanya berubah. Hidup Zulfikri berubah dan ia tahu pada saat itu juga bahwa ini tanpa kehadiran Alletska dalam hidupnya, ia takkan berdiri di panggung itu, memasangkan janji suci di jari manis seorang bidadari yang teramat elok parasnya. Semua orang yang hadir di sana terlihat saling berbagi kebahagiaan bersama. Senyum dan tawa memenuhi tempat itu. Ada sekumpulan iringan musik. Ada banyak makanan. Ada damai. Ada sukacita. Ada cinta. Semuanya berkumpul di situ. Senja menjadi saksinya.
LIMA
“Satu kehidupan. Segalanya.”
          Sebuah lembaran baru telah dibuka. Kini Zulfikri dan Clement bersatu. Seperti yang dikatakan oleh Kahlil Gibran bahwa perkawinan merupakan persatuan dua keilahian, sehingga yang ke tiga dapat lahir di dunia. Itulah persatuan dua jiwa dalam kekuatan cita guna melebur keterpisahan. Itulah persatuan yang lebih luhur, yang mempersenyawakan perbedaan dua jiwa. Itulah cincin emas yang berwujud rantai, dengan pangkal berupa kilauan dan ujung berupa Keabadian. Itulah hujan air murni yang jatuh dari langit kudus, guna menyuburkan dan memberkahi ladang-ladang Alam Ilahi.

          Kini Zulfikri menghabiskan hari – harinya membanting tulang di kantor. Menuangkan seluruh pikirannya, tenaganya untuk mencari nafkah, untuk menghidupi keluarganya. Baginya hal itu tak menjenuhkan. Tak melelahkan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melakukan sesuatu yang sangat melelahkan demi orang lain. Jam demi jam. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Gaji pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Baginya itu adalah tingkat klimaks dari kebahagiaan. Yaitu melihat orang yang dia sayang bahagia. Baginya itu adalah segalanya. Itu adalah satu – satunya hal yang di dalam pikirannya saat ia meletakkan jempolnya di mesin scanner setiap pagi untuk absen. Seluruh pikiran dan tenaganya dibaringkannya di meja tempat ia bekerja. Namun hatinya tetap di rumah. Menemani Clement. Kini Clement tak lagi bekerja di kantor. Ia bekerja di dapur, di ruang tamu, kamar mandi, dan teras rumah. Ia tahu bahwa tidak ada yang lebih memuaskan daripada melihat Zulfikri pulang dari kantor, dengan senyuman yang masih hangat seakan – akan senyuman itu dengan sengaja ia simpan khusus untuk sang istri. Baginya memasak bukanlah memasukan makanan dan bumbu – bumbu kedalam sebuah wajan besar. Tak pernah ia merasakan begitu banyak cinta dan kasih sayang yang selalu ingin ia berikan kepada seseorang yang spesial. Bagi orang lain, memasak hanyalah memasak. Menyapu dan mengepel hanyalah menyapu dan mengepel. Merapikan ranjang hanyalah merapikan ranjang. Tersenyum hanyalah menarik kedua otot pipi yang menghasilkan kerutan melengkung di bibir. Baginya itu adalah cara paling sederhana seorang istri mencintai suaminya. Tak pernah sedikitpun ia mengeluh. Cintanya tak berhenti bertambah setiap hari setelah matahari mulai mengintip ujung ufuk timur.

          Pada sebuah jumat yang dingin, air hujan mulai datang terjun ke bumi. Satu per satu mulai menyelimuti apapun yang bisa mereka sentuh. Lalu kemudian datanglah segerombolan tetesan air yang dengan sekejap menutup jalanan pada malam itu. Semuanya terendam dalam dinginnya malam itu. Pohon – pohon dipinggir jalan menggigil, mencoba untuk saling memberi kehatangan satu dengan yang lainnya.

          Gemuruh hujan memenuhi jalanan. Pintu tertutup rapat. Hening kembali duduk di ruang tamu. Zulfikri menarik rambutnya yang basah itu kebelakang sambil meletakkan tas di meja. Kemudian terdengar istrinya memanggil namanya. Zulfikri menjawab. Setelah beberapa saat, istrinya memanggil namanya untuk kedua kalinya. Zulfikri menjawab dengan lebih keras. Suara barisan cucuran hujan yang tumpah di luar memenuhi ruangan itu. Semakin deras. Semakin teramat deras. Zulfikri sedang melepas sepatunya saat ia melihat Clement keluar dari kamar, dan berlari ke arahnya. Ia berlari begitu cepat sehingga karpet yang tebal itu terdengar sangat jelas. Tanpa berkata – kata, ia memeluk Zulfikri. Kepala Clement menghantam dadanya. Lalu semuanya menjadi hening sejenak. Hanya iringan hujan yang menemani mereka. Rambut Zulfikri masih basah. Sepatu di kaki kanannya masih diam, menunggu kering. Lalu Clement memandang wajah Zulfikri dan tersenyum. Zulfikri masih belum paham. Kemudian hal berikutnya membuat badannya ingin rebah seketika. Clement menganggukkan kepalanya. Zulfikri memeluknya lebih erat. Sangat erat. Ia tahu saat itu juga bahwa ia tak akan bernyawa lagi. Ia tahu bahwa ia tak akan memiliki hati lagi. Sebab hatinya sudah ia pecah menjadi dua bagian. Setengah bagi Clement. Setengahnya bagi sosok yang tinggal di rahim Clement.

          Alletska mengabulkan permintaan Zulfikri. Permintaannya berbeda, bukan yang seperti dulu. Bukan pekerjaan, bukan pendamping hidup. Melainkan sebuah nyawa. Sang buah hati yang akan melengkapi kebahagiaannya dan Clement.
ENAM
“Aku melakukannya lagi.”
          Pada malam itu ruangan kantor diambil alih oleh keheningan. Semua orang terkejut ketakutan. Ada yang duduk diam di belakang mejanya. Tangannya menggenggam secangkir kopi. Ada wanita yang mematung di tempat ia berdiri, sambil kedua tangannya menutupi mulutnya. Matanya kosong. Bukan karena ia sedang tak memikirkan apa – apa. Tetapi karena apa yang telah terjadi begitu tak terduga dan datang secara tiba – tiba. Seorang laki – laki berdasi biru tua nampak sedang diinterogasi oleh dua orang polisi. Mukanya pucat dan jelas sekali bahwa ia sangat gagap. Bagaimana tidak. Insiden tersebut terjadi di waktu yang sangat tidak tepat. Mengingat bahwa hari berikutnya, perusahaan mereka akan merayakan ulang tahun yang ke 10. Pesta besar – besaran sudah disiapkan dengan matang. Sebulan sebelumnya, seluruh karyawan sudah sangat antusias dan menanti – nantikan acara tersebut. Mereka merasa bahwa bulan itu adalah bulan mereka. Bulan yang ditunggu – tunggu. Namun ajal tak sepikiran. Ia tak sependapat. Ia memutuskan untuk datang lebih awal dan menjemput ‘Pak Bos’ panggilan kepada manajer perusahaan tersebut. Sudah hampir jam tujuh malam dan seluruh karyawan bersiap – siap untuk pulang. Memikul keletihan yang mereka kalungkan di leher mereka sejak pagi hari. Masih tersisa senyuman di wajah setiap orang, membahas acara ulang tahun perusahaan yang akan mereka rayakan hari berikutnya. Tetapi anehnya, ruangan Pak Bos masih tertutup rapat saat yang lainnya sudah mulai check out absensi kerja. Tak biasanya seperti itu. Lalu ditemukannyalah tubuh Pak Bos tergeletak di lantai ruangannya. Busa yang mengalir dari mulutnya sudah mengering. Tubuhnya masih di situ. Namun nyawanya tidak. Ia tak meninggalkan pesan berupa surat atau apapun. Dugaan sementara adalah bunuh diri. Tetapi apa penyebabnya? Pak Bos adalah orang yang sangat terbuka dan supel. Ekspresi wajahnya menceritakan segalanya. Mood yang terlihat di pagi hari adalah Pak Bos hari itu. Semua orang tahu ia akan menjadi orang yang sangat pendiam selama sehari penuh karena klub sepak bolanya kalah pada pertandingan malam sebelumnya. Ia akan menjadi orang yang sangat pemarah selama sehari penuh karena kopinya di pagi hari itu kurang manis. Dan ia akan mendadak menjadi malaikat paling baik dan pemurah yang pernah ada, saat klub sepak bolanya menang telak pada pertandingan malam sebelumnya, dan di pagi hari kopinya terasa sangat manis. Namun hari itu kopinya tak bermasalah. Pada malam sebelumnya pun tak ada pertandingan sepak bola. Tak ada alasan untuk Pak Bos mengumpulkan setumpuk niat untuk mengakhiri hidupnya. Semua orang masih belum percaya. Semua orang tenggelam dalam pertanyaan – pertanyaan yang terus membanjiri isi kepala mereka. Apakah benar Pak Bos bunuh diri? Kalau tidak, siapa pelakunya? Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa sekarang?

………………..

Zulfikri duduk di belakang mejanya. Ia memejamkan matanya. Lalu membuang napas. Mengosongkan seluruh udara yang berdiam di dalam paru – parunya. Dalam hatinya ia berkata.
“Ini untuk Alletska…”
TUJUH
“Cinta. Luka”
Beberapa bulan kemudian.

………………..     
  
          Menerjang angin malam. Sinaran lampu tertarik menggariskan cahaya lurus mengisi jalanan yang dipenuhi dengan keheningan. Hening duduk di situ, di sana, di persimpangan gang, dan di sudut – sudut jalan. Karet ban mobil terpaksa bangun untuk berlari. Lampu depan menghantam kabut yang berbaris di sepanjang perjalanan. Tak biasanya ia harus melek di jam seperti itu. Mesin mobil sangat iri, melihat teman – temannya diparkiran dengan rapi di rumah mereka masing – masing. Sangat nyaman di dalam garasi yang hangat. Menikmati istirahat malam yang panjang setelah bekerja keras seharian. Jarum menunjukkan angka 80 di speedometer. Aspal jalan yang dingin terkejut saat ban karet melaju di atasnya. Tak biasanya ada yang berlari – lari di jam tidur mereka. Dari kejauhan aspal hanya dapat berteriak kepada ban karet untuk berhati – hati sebab ia pikir sangatlah berbahaya untuk berlari di atas aspal yang berpelukan dengan embun. Ban karet tak mendengarnya. Matanya masih setengah tertutup. Mereka berlari sambil mengeluh satu dengan yang lain. Si depan kiri mengeluh kepada kiri belakang. Begitu juga dengan si depan kanan.

          Wajah Zulfikri sepucat salju. Bola matanya merah dan kering, namun kelopak enggan untuk memberikan jeda rehat baginya. Kedua tangannya melekat kepada setir mobil. Perasaanya campur aduk. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya mengemudikan mobil dengan seorang wanita yang siap untuk melahirkan kapan saja, duduk di kursi belakang. Ia tak sabar untuk segera melihat sang buah hati yang sudah mereka tunggu – tunggu. Namun ada hal lainnya yang terukir di wajahnya. Kekhawatiran. Tak dapat ia menyembunyikannya sebab sangatlah jelas kerutan yang bergelombang di antara kedua matanya, tepat di atas hidungnya. Semakin lama semakin dalam lipatannya. Lalu hilang seketika. Alletska yang duduk di sebelahnya menghembuskan kata – kata yang menyelimuti hatinya dengan ketenangan, yang selalu berhasil untuk membuatnya kembali tegar.

“Jangan khawatir..Dia pasti selamat..”

          Clement tertidur di belakang. Tangan kirinya memegang perutnya sedangkan tangan kanan menarik pundak Zulfikri. Ia tak tahu berapa lama lagi ia dapat menahan rasa sakit tersebut. Tiga puluh menit perjalanan serasa berjam – jam baginya. Keringat bercampur dengan air mata. Ia memejamkan kedua matanya. Menahan sakit yang tak kunjung hilang. Berharap bahwa anaknya akan selamat, apapun yang terjadi. Dirinya tak penting lagi baginya. Sebab sang buah hati adalah nyawanya. Melihat ia selamat adalah kehidupan baginya. Menyaksikan senyuman yang begitu mungil, kulit yang begitu halus, detak jantung yang di dalam dadanya, hal itu semuanya adalah kehidupan bagi Clement. Lalu tiba – tiba ia merasakan sesuatu. Langsung sesaat itu juga ia menepuk bahu Zulfikri dan berteriak, “Sudah! Sekarang! Sekarang!”

          Mobil Zulfikri menepi. Di sanalah ia duduk, begitu sunyi dan sendiri. Tak ada rencana. Tak ada yang memikirkannya sebelumnya. Lampu jalan berdiri di sebelahnya. Mencoba untuk melihat apa yang terjadi di dalam sana. Matanya mencoba untuk merayap kedalam tetapi tak mampu. Hanya suara yang menyelinap keluar dari jendela mobil. Suara yang tak pernah ia dengarkan sebelumnya. Sepuluh menit. Lima belas menit. Kemudian sunyi datang di menit ke tiga puluh. Lalu ia mengajak teman – temannya yang lain. Sekumpulan sunyi sudah mengelilingi mobil tersebut. Tiba – tiba sesuatu yang kecil mengusir sunyi satu dan yang lainnya. Sebuah tangisan. Tangisan yang begitu kecil. Begitu mungil. Lalu pintu belakang mobil terbuka. Suara rengekan seorang bayi membuat lampu jalan semakin penasaran. Setelah itu ia dikejutkan oleh sesuatu yang ia lihat. Seorang laki – laki menggendong seorang perempuan yang tak sadarkan diri. Pingsan? Mati? Ia tak bertanya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa ia tak bermimpi. Kaos lelaki itu terendam darah. Darah yang mengalir mulai membasahi celananya. Rumput terjaga sebab ia kira hari mulai hujan. Tetapi darahlah yang menjatuhinya. Lelaki tersebut berjalan kearah semak – semak. Dengan cepat ia berlari kembali ke dalam mobil. Tanpa perempuan tersebut. Pintu mobil kembali tertutup. Kemudian bekas tetesan darahlah yang ditinggalkan di tempat itu. Tetetasan darah. Dan sebuah cerita. Cerita bisu.

          Di dalam mobil Zulfikri duduk dengan seorang asing. Seseorang yang belum pernah ia temui dalam hidupnya. Di situlah ia terbaring. Di paha Zulfikri. Tangannya belum sempat menciumnya. Bibirnya belum sempat memeluknya. Namun air matanya sudah menyentuhnya. Membasahi pipi si kecil, sang buah hati. Memang Alletska tak membohonginya. Alletska tak pernah mengatakan bahwa mereka akan selamat. Tetapi hanya dia. Dia yang belum menjadi miliknya. Di dalam pikiran Zulfikri hanya satu.

“Ini untuk Alletska…”
Short Stories
Published:

Short Stories

Published:

Creative Fields